Jangan
menanyakan perihal aturan dalam pertandingan bola basket pada saya. Meski kita
selalu bertemu di pinggir lapangan, menyaksikan permainan para pemain basket.
Usah heran, saya memang menggemari permainan basket, tapi saya sekedar
menonton. Itu saja.
Sebagian masa remajaku terisi dengan cerita-cerita tentang
bola basket. Kau pasti tahu tentang ini.
Saya bersekolah di SMP Negeri 1 Makassar, saat pemilihan
kegiatan extrakurikuler, pilihanku bola basket.
Belum sempat latihan, saya terpaksa pindah sekolah karena ikut orang
tua, pulang kampung. Ini hal pertama
yang menghalangi keinginan saya bermain basket. Bersekolah di desa, akibat
pembangunan tak merata, di sana tak ada lapangan basket. Bola basket ada, tapi
pun jika saya jago seperti kau, tak akan bisa menikmati permainan jika di
permukaan tanah yang tak rata. Bukan begitu?
Maka niat menjadi pemain basket pun hilang. Saya memilih volley. Cukup menyenangkan, dan saya
sangat menikmatinya, meski beberapa kali tanganku memar oleh bolanya. Latihan
keras justru membuatku malas, saya tak berniat menjadi atlit. Terdengar
membosankan sepertinya.
Tiba di Sengkang, menghabiskan masa SMA sendiri, tentu saja
jadi kesempatan baik untuk menghidupkan mimpi bermain basket. Saya bisa pulang
hingga larut sekedar bermain di sekolah tanpa khawatir dimarahi, tak ada yang
menungguku di kamar kost.
Namun lagi-lagi batal. Saya lebih dulu tenggelam di kegiatan
organisasi. Lagipula, kecil kemungkinan saya bisa diterima oleh para penguasa
lapangan basket sekolah jika saya tak ada modal sedikit pun. Mereka sudah
terbiasa memantulkan bola, melemparkannya ke dalam keranjang. Sedangkan saya?
Tiba-tiba dia mengajakku pacaran. Seorang senior dengan
tubuh paling tinggi di sekolah.
Berpacaran dengan senior keren, jago main basket tentu saja membuatku cukup
dikenal oleh anak kelas dua dan kelas tiga. Sahabatku memprediksikan sebentar
lagi keinginanku terwujud. Sayangnya bahkan hingga putus, dua bulan waktu kami
tak pernah berada di lapangan basket. Saya berpacaran kali pertama waktu itu.
Beberapa bulan kemudian, saya banyak dekat dengan
senior-senior yang sungguh saya tidak pernah mengaturnya, semuanya pemain
basket. Membuatku malas menginjak
lapangan. Mereka memintaku untuk tetap di sisi lapangan selamanya. Tentu saja
membuat saya semakin jauh dengan bola basket, kecuali saat pelajaran olahraga.
Lalu kita bertemu tanpa sengaja di toko buku bekas di pasar
Tempe. Kau banyak membagi kisah persahabatanmu juga tentang pertandingan
basketmu. Kau membuatku iri. Tapi kita tetap bersahabat, hingga akhir, begitu
katamu. Kuakui saya memang tak bisa lama-lama untuk tidak bertemu kau. Kau
selalu menginspirasi tiap langkah yang kuambil. Sungguh saya banyak belajar
dari kau yang kemudian memilih menjadi seorang guru.
Tapi basket selalu keren di mataku. Juga di matamu tentunya.
Maaf, kalau hingga hari ini kau masih membenciku setelah insiden lemparan
bolamu yang tak kutangkap lantaran saya memilih tetap menjadi penonton saja.
Bukan pemain!
Penghujung SMA saya berkenalan dengan kawanan yang menyebut
tim mereka 3 POINT. Saya mengagumi mereka. Tentu saja lagi-lagi mengingatmu.
Mereka lincah dan sangat bersahabat. Sama seperti kau dengan kawan ‘badung’ mu.
Sama seperti saya dengan kawan ‘narsis’ ku.
Begitu juga pada masa peralihanku dari SMA ke Universitas,
saya berkenalan dengan tim yang salah satu diantaranya menamai dirinya
‘Akatsuki Leader’. Ia baik dan jago bermain basket, sama seperti kekasihmu
Iwasaki alias Chibi. Hingga kini, teman-temannya pun masih menjalin pertemanan
yang baik denganku, bahkan seorang dari mereka menekuni Sastra Jepang, sastra
negaramu. Beberapa hari yang lalu kami bersama di pinggir lapangan menyaksikan
pertandingan.
Saya akan selalu menggemari pinggir lapangan daripada tengah
lapangan. Toh itu akan membuat posisiku selalu nyaman. Tanpa beban. Tanpa rasa
was-was karena takut tak terpilih tahap seleksi yang tak pernah seksi di
mataku. Tanpa rasa benci setelah kekalahan atau kemenangan.
Pertandingan lebih banyak menghadirkan permusuhan. Dan saya
lebih senang menertawai mereka yang larut dalam permusuhan itu. Tak sulit
menemukan mereka. Biasanya mereka selalu buru-buru, mimik wajahnya penuh murka
dan dengki. Mereka sombong. Belum lagi sang pelatih yang, ah saya tidak suka
cara mereka meneriaki para pemain dengan penuh emosi.
Serta tetap mengagumi mereka-mereka yang selalu bermain
santai, ramah, bersahabat, tanpa gegabah dan kecurangan tentunya. Sebab hidup
hanya permainan, bukan pertandingan. Kemenangan dan kekalahan hanya bagi mereka
yang gila urusan dan sok pintar. Saya tetap mengagumi caramu bermain basket,
selamanya! Terima kasih telah mengajariku banyak hal memandang kehidupan.
*Nama aslinya Kitashiro Naoko,
sahabatku yang juga kebetulan jadi tokoh komik Popcorn karangan Yoko Shoji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar