Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Sabtu, 26 November 2011

Saya di sisi lapangan basket dari dulu hingga kini!

Dear Nakki*

Jangan menanyakan perihal aturan dalam pertandingan bola basket pada saya. Meski kita selalu bertemu di pinggir lapangan, menyaksikan permainan para pemain basket. Usah heran, saya memang menggemari permainan basket, tapi saya sekedar menonton. Itu saja.
Sebagian masa remajaku terisi dengan cerita-cerita tentang bola basket. Kau pasti tahu tentang ini.
Saya bersekolah di SMP Negeri 1 Makassar, saat pemilihan kegiatan extrakurikuler, pilihanku bola basket.  Belum sempat latihan, saya terpaksa pindah sekolah karena ikut orang tua, pulang kampung.  Ini hal pertama yang menghalangi keinginan saya bermain basket. Bersekolah di desa, akibat pembangunan tak merata, di sana tak ada lapangan basket. Bola basket ada, tapi pun jika saya jago seperti kau, tak akan bisa menikmati permainan jika di permukaan tanah yang tak rata. Bukan begitu?
Maka niat menjadi pemain basket pun hilang. Saya memilih volley. Cukup menyenangkan, dan saya sangat menikmatinya, meski beberapa kali tanganku memar oleh bolanya. Latihan keras justru membuatku malas, saya tak berniat menjadi atlit. Terdengar membosankan sepertinya.
Tiba di Sengkang, menghabiskan masa SMA sendiri, tentu saja jadi kesempatan baik untuk menghidupkan mimpi bermain basket. Saya bisa pulang hingga larut sekedar bermain di sekolah tanpa khawatir dimarahi, tak ada yang menungguku di kamar kost.
Namun lagi-lagi batal. Saya lebih dulu tenggelam di kegiatan organisasi. Lagipula, kecil kemungkinan saya bisa diterima oleh para penguasa lapangan basket sekolah jika saya tak ada modal sedikit pun. Mereka sudah terbiasa memantulkan bola, melemparkannya ke dalam keranjang. Sedangkan saya?
Tiba-tiba dia mengajakku pacaran. Seorang senior dengan tubuh  paling tinggi di sekolah. Berpacaran dengan senior keren, jago main basket tentu saja membuatku cukup dikenal oleh anak kelas dua dan kelas tiga. Sahabatku memprediksikan sebentar lagi keinginanku terwujud. Sayangnya bahkan hingga putus, dua bulan waktu kami tak pernah berada di lapangan basket. Saya berpacaran kali pertama waktu itu. 
Beberapa bulan kemudian, saya banyak dekat dengan senior-senior yang sungguh saya tidak pernah mengaturnya, semuanya pemain basket.  Membuatku malas menginjak lapangan. Mereka memintaku untuk tetap di sisi lapangan selamanya. Tentu saja membuat saya semakin jauh dengan bola basket, kecuali saat pelajaran olahraga.
Lalu kita bertemu tanpa sengaja di toko buku bekas di pasar Tempe. Kau banyak membagi kisah persahabatanmu juga tentang pertandingan basketmu. Kau membuatku iri. Tapi kita tetap bersahabat, hingga akhir, begitu katamu. Kuakui saya memang tak bisa lama-lama untuk tidak bertemu kau. Kau selalu menginspirasi tiap langkah yang kuambil. Sungguh saya banyak belajar dari kau yang kemudian memilih menjadi seorang guru.
Tapi basket selalu keren di mataku. Juga di matamu tentunya. Maaf, kalau hingga hari ini kau masih membenciku setelah insiden lemparan bolamu yang tak kutangkap lantaran saya memilih tetap menjadi penonton saja. Bukan pemain!
Penghujung SMA saya berkenalan dengan kawanan yang menyebut tim mereka 3 POINT. Saya mengagumi mereka. Tentu saja lagi-lagi mengingatmu. Mereka lincah dan sangat bersahabat. Sama seperti kau dengan kawan ‘badung’ mu. Sama seperti saya dengan kawan ‘narsis’ ku.
Begitu juga pada masa peralihanku dari SMA ke Universitas, saya berkenalan dengan tim yang salah satu diantaranya menamai dirinya ‘Akatsuki Leader’. Ia baik dan jago bermain basket, sama seperti kekasihmu Iwasaki alias Chibi. Hingga kini, teman-temannya pun masih menjalin pertemanan yang baik denganku, bahkan seorang dari mereka menekuni Sastra Jepang, sastra negaramu. Beberapa hari yang lalu kami bersama di pinggir lapangan menyaksikan pertandingan.
Saya akan selalu menggemari pinggir lapangan daripada tengah lapangan. Toh itu akan membuat posisiku selalu nyaman. Tanpa beban. Tanpa rasa was-was karena takut tak terpilih tahap seleksi yang tak pernah seksi di mataku. Tanpa rasa benci setelah kekalahan atau kemenangan.
Pertandingan lebih banyak menghadirkan permusuhan. Dan saya lebih senang menertawai mereka yang larut dalam permusuhan itu. Tak sulit menemukan mereka. Biasanya mereka selalu buru-buru, mimik wajahnya penuh murka dan dengki. Mereka sombong. Belum lagi sang pelatih yang, ah saya tidak suka cara mereka meneriaki para pemain dengan penuh emosi.
Serta tetap mengagumi mereka-mereka yang selalu bermain santai, ramah, bersahabat, tanpa gegabah dan kecurangan tentunya. Sebab hidup hanya permainan, bukan pertandingan. Kemenangan dan kekalahan hanya bagi mereka yang gila urusan dan sok pintar. Saya tetap mengagumi caramu bermain basket, selamanya! Terima kasih telah mengajariku banyak hal memandang kehidupan.
*Nama aslinya Kitashiro Naoko, sahabatku yang juga kebetulan jadi tokoh komik Popcorn karangan Yoko Shoji.

Tidak ada komentar: