Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Senin, 04 Agustus 2008

Dua Karya Dadakan


Tahu pernah ada pelatihan jurnalisme sastrawi di Makassar yang diadakan oleh Panyingkul bekerja sama dengan Pantau?
buka laporannya di http://www.panyingkul.com/view.php?id=920 dan http://andreasharsono.blogspot.com/2008/07/makassar-belajar-bersama.htmlBeruntungnya saya bisa ikut dalam kelas itu.
Dua kali kami diberi PR yang harus dikumpul esok harinya.
Berikut kedua PR yang kukumpul itu.
 

Pemulung dengan sapaan Mr.
Sore yang mulai melukis langit dengan crayon merah, adalah Sore selalu menarik bagi saya ketika masih bersekolah di Sengkang, Wajo. Hampir setiap sore, ketika semua rutinitas telah kurampungkan, saya akan duduk di pinggir jendela kamar yang berada di lantai dua lalu melihat-lihat ke bawah menanti seseorang. Seseorang yang tak pernah terpisah dengan karung bekas di punggungnya dan selalu ia carikan isi. Botol dan gelas minuman bekas. Sekedar tuk mengajaknya berbincang-bincang.
Pondokanku yang letaknya tak jauh dari pusat perbelanjaan kota sutera ini adalah lokasi yang selalu menjadi incaran lelaki berumur lebih dari setengah abad itu. Lengkap dengan kaca mata yang salah satu gagangnya tak lagi menggunakan plastik, melainkan karet gelang hitam. Serta topi kusam dengan sulaman di sisi kirinya bertuliskan PT. Inco.
“Saya pernah kerja di PT. Inco Nak!” katanya ketika saya menanyakan di mana ia menemukan topi itu.
Ia selalu meminta saya memanggilnya dengan nama Subair saja. Tidak menambahkan kata mister di depannya, seperti yang dilakukan orang-orang yang mengenalnya. Mungkin Subair ini adalah pemulung yang paling terkenal di kota Sengkang. Berbicara dengan para turis adalah hal yang sangat membuat kami-warga Sengkang iri. Setiap kali ada turis yang mengunjungi kota itu, dan tak sengaja bertemu dengannya, maka ia dengan percaya diri menyapa turis-turis tersebut. Tentu saja itu adalah pemandangan yang unik bagi kami. Sehingga kami pun menyapanya dengan nama Mister.
Enam bahasa asing yang ia bisa. Spanyol, Belanda, Jerman, Jepang, Perancis, dan tentunya bahasa Inggris. Maka kami merasa memang pantas ia dinamai Mister. Juga karena ia tidak banyak bicara dengan orang sekitar, kecuali ia tahu bahwa lawan bicaranya adalah peminat bahasa asing. Sehingga bahasa yang sering ia gunakan adalah bahasa asing.
“Waktu zaman Suharto nak, banyak turis yang datang di sini, jadi hampir setiap hari saya bisa dapat dua ratus ribu kalau jadi pemandunya. Tapi sekarang, tidak menarikmi ini Sengkang, kurang turis yang berkunjung. Makanya saya lebih pilih jadi pemulung saja. Tidak beda jauhji pendapatanku.” tuturnya menengenai pendapatannya.
Satu pertanyaan yang sering ia temui adalah mengapa ia harus menjadi pemulung, padahal ia punya kemampuan lebih yang bisa mengantarnya mendapatkan profesi lebih dari pemulung.
“Gaji guru tidak seberapa nak! And I dislike it” ungkapnya ketika say dan seorang teman mengajaknya menjadi guru bahasa asing di sekolahku.
Tak banyak informasi yang dapat kami temukan darinya langsung, sebab ia sangat tertutup. Bahkan ketika kami berniat mengunjungi rumahnya, ia dengan tegas melarang. Namun dari penuturan warga yanng lebih tua dan mengenalnya, banyak yang beranggapan bahwa Subair menderita penyakit kelainan jiwa akibat anaknya yang meninggal dan istrinya yang meninggalkannya.


Yang bergaris miring di atas adalah kalimat klise yang menjadi bahan ejekan membangun buatku. aku selalu tersenyum sendiri jika mengenangnya.

Tulisan kedua:
“Bisa- Bisa Saja”

Beberapa tahun lalu, pengemis hanya ada di perempatan lampu lalu lintas dan pusat perbelanjaan. Kini mereka hampir ada di seluruh pinggir jalan besar kota Makassar. Misalnya, Jalan Perintis Kemerdekaan. Antara pintu satu UNHAS sampai depan Makassar Town Square, ada seorang anak, yang menjadikan daerah itu sebagai wilayahnya mencari belas kasihan orang.
“Ina!” jawabnya ketika aku menanyakan namanya.
Sambil menggendong Mutia, adik bayinya yang baru berumur enam bulan, Ina mengajakku duduk di pinggir jalan.
“Di manaki tinggal?”
“Belakangnya Muhammadiyah, PK empa’ lorong enam.”
“Nda sekolahki?”
“Nda mi kak, tapi pernahja gang sekolah di kampung sampe kelas tiga.”
“O…jadi pintar jaki membaca itu.”
“Iye, na sekolahja juga di UNHAS?”
“Hah?”
Ia pun tertawa. “Di mesjid kak! Ada kakak-kakak di mesjid setiap hari minggu ajarka membaca, menulis sama mengaji.” Jelasnya.
“Oh itu yang program adik asuh di’.”
“Iye.”
“Apakah cita-citata?”
“Jadi pemain basket!”
“Kenapa bisa?”
“Bisa-bisa saja.”
“E…” untuk kedua kalinya aku kebingungan.
“Maksudku kenapa kita mau jadi pemain basket?”
“Tidak ji, karena biasaka main basket sama kak Aisyah di lapanganna UNHAS”
“Oh…”
“Sejak kapanki tinggal di sini?”
“Lamami kak, bertahun-tahunmi.”
“Tapi pernahki tinggal di kampung toh? Di mana kampungta?”
“Kajang kampungna mamakku, kalo bapakku Je’neponto. Tapi lama ya’ tinggal sama nenekku di Je’neponto.”
“Apa kita kerja di kampung selain sekolah?”
“Anu, gembala sapi dan menanam padi.”
“Terus kenapa pale pindahki ke sini?”
“Nenekku diusirki dari kampung yang di Jeneponto karena dituduh i lempar kambing”
Belum sempat saya bertanya, ia melanjutkan ceritanya.
“Itu kambinga masukki di kebunna nenekku, diusirki sama nenekku toh, baru itu pekkangi itu kambinga, nakirami punyana dilempar, padahal diusirji.”
“Gara-gara ituji?”
“Iye.”
Saya tertarik dengan Ina ini sejak dua hari yang lalu. Waktu itu saya dalam perjalanan pulang menuju pondokan. Saya melihatnya sedang mengulurkan gelas plastik putih bertelinga dengan ukuran besar. Orang bugis biasa menyebutnya canteng. Ina mengulurkan canteng itu pada seorang wanita berjilbab yang kelihatannya jijik pada Ina. Matanya sinis memandangi Ina. Setiap kali Ina maju, wanita itu mundur, Ina maju, Wanita itu mundur lagi. Sampai wanita itu pergi menjauhi Ina, lalu kulihat Ina tersenyum puas. Saya pun ikut tersenyum melihat keusilannya. Ya, itu perwakilan rasa kanak-kanaknya di mataku.
Dia anak ke empat dari sepuluh bersaudara. Ketiga kakaknya telah berkeluarga dan tinggal di kampung.
“Bapakta apa nakerja?”
“Payabo-yabo”
“Mama’ ta?
“Di rumahji naajarki adekku membaca baru na jagai juga adekku yang karena masih kecil semua.”
“Setiap hari apa-apami itu kita kerja?”
“Pagi setengah enam keluarma itu cari botol Aqua bekas, jang sepuluh pulang baru kubantu mamakku memasak sama menyimpang,baru sore-sore pigima minta-minta sama inie.” Matanya melirik Mutia.
“Hah? Apa itu menyimpang?”
“Orang di sini bilang membersihkan, kalau di kampung bilang menyimpang.”
“Oh…”
“Nda sakitji itu adekmu kodong?”
“Ih, nangiski iya kalo naliakka pergi na tidak kubawaki.”
Kisah yang dialami Ina dengan nama lengkap Herlina ini sudah banyak kutemui pada anak-anak serupa. Bukan hanya di kota besar seperti Makassar. Kini di ibukota kabupaten pun anak kecil tak bersekolah berprofesi sebagai peminta-minta ada.
“Siapa suruhki itu pigi begitu?”
“Nda adaji! Saya sendiri mau untuk membantu mama di rumah.”
“Kita sukaji begitu?”
“Iya, untuk mencukupi makanan sehari-hari.” Tiba-tiba cara bicaranya berubah menjadi kalimat baku, layaknya orang dewasa sambil mengannguk mantap.
Karena kulihat ia gelisah ingin segera berpetualang lagi, saya pamit dan mengucapkan terima kasih. Ia menyodorkan canteng kepadaku. Lembaran lima ribuan kumasukkan kedalamnya, ia pun pamit dengan ucapan terima kasih.


Walaupun tidak menarik, saya puas bisa mengerjakan PR itu dalam waktu beberapa jam saja. Yang terpenting kan bahwa saya sudah menulis sesuatu. Seperti yang dikatakan Kak Luna di atas kertas pesan dan kesannya padaku, TULISANNYA EKA ADALAH TULISANNYA SETELAH INI.

Tidak ada komentar: