Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Jumat, 30 November 2012

Senang bisa belajar menikmati hidup dari dua orang ini


Mestinya tulisan ini kuposting pada tanggal 21 November, tapi lantaran akses internetku yang  terhambat beberapa hari belakangan, jadilah postingan ini ter-upload baru sekarang.
Oke kita mulai membicarakan dua orang ini. Yang pertama, namanya Syafruddin namun senang ia jika dipanggil Made, dan lebih sangat senang jika dipanggil pergi minum ballo' hehehe. Tentu saja Made dengan penyebutan "e” pepet bukan "e" taling, karena jika "e" taling maka akan terdengar namanya seperti nama orang Bali. Padahal ia murni berdarah Bugis, tepatnya Bugis Soppeng-Wajo. Konon ia lahir pada tahun 1963, ia sendiri tak begitu yakin, hanya sebuah perkiraan dari daya ingat saudara perempuannya. Bagaimana mungkin ia bisa mempertanyakan lebih tepatnya, jika sejak SD ia sudah yatim piatu. Tidak akan ada yang bisa mengingat persisnya kini, katanya. Lagipula menurutnya tahun kelahiran tidak begitu penting kecuali untuk mengisi berbagai formulir dan data-data, selain itu ia tidak merasa tahun kelahiran penting untuk diketahui tepatnya. Entahlah.
Sejak remaja ia sudah terbiasa mencari uang sendiri, dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan, mulai dari membantu pamannya berjualan, berkebun, sampai menjadi supir angkot. Pekerjaan terakhir lah yang kemudian ia pilih untuk ia jalani mencari uang dan hingga kini masih ia kerjakan. Bahkan, berkat pekerjaan itulah, ia bertemu perempuan yang membuatnya jatuh cinta kemudian ia nikahi. Namanya Nurmi, dialah orang kedua yang akan saya ceritakan.
Sebenarnya Nurmi memiliki nama yang sangat ia sukai sejak kanak-kanak. Ia bahkan pernah nekat mengganti namanya untuk ditulis dalam rapor sekolah mengajinya yang kemudian dalam ijazah juga dengan nama yang sama,Widiarti. Namun, kemudian ia kembali menggunakan nama yang diberikan oleh Bapaknya hari hingga kini, entah dengan pertimbangan apa.
Nurmi lahir pada tahun 1971, tentu saja usia keduanya cukup jauh berbeda.
Keduanya bertemu di Sengkang. Saat Nurmi masuk pesantren Asadiyah tingkat Aliyah. Saat itu Made sudah berprofesi sebagai supir angkot. Sepertinya lebih tepat jika kisah mereka dinamakan "Cinta Bersemi Di Atas Pete-Pete" hehehe. Made dianggap cukup berani waktu itu, sekitar tahun 1986-1987 memiliki seorang pacar tentu tidak semudah sekarang. Tak ada telepon genggam yang bisa menghubungkan sepasang kekasih kapan saja jika ada pula, terlebih facebook atau twitter, jika ingin kencan tentu harus bertemu langsung. Tak ada kata janjian lewat pesan singkat terlebih dahulu. Maka, Made seringkali harus berhadapan dengan paman Nurmi yang terkenal galak, bahkan pernah sekali ia dipukuli oleh si Paman karena dianggap lancang mengajak Nurmi keluar untuk sekedar jalan-jalan.  Belakangan, Made disarankan untuk segera melamar kekasihnya saja.  Tentu bukan hal yang gampang, lantaran Nurmi masih berstatus siswa Madrasah Aliyah kelas dua. Keluarga nya menentang.
Dengan sedikit ancaman ke kakak perempuannya, bahwa jika ia tidak menikah dengan Nurmi, ia akan pergi meninggalkan kampung, jadilah seluruh keluarga berusaha agar lamarannya diterima. Dan resmilah keduanya menjadi sepasang suami istri pada tanggal 21 November 1987.
Setelah menikah, Nurmi masih melanjutkan sekolahnya,tapi tidak  berlangsung lama. Keduanya memilih merantau ke kota Ujung Pandang. Dengan alasan bahwa menurut kepercayaan orang Bugis, karena keduanya sama-sama anak urutan ketiga dari saudara-saudaranya, maka rejeki tak akan datang jika mereka mencarinya di dalam kampung sendiri, mereka harus ke kampung lain.
Kota Ujung Pandang menjadi pilihan dengan bekal kemampuan Made mengendarai mobil, ia bekerja di Perusahaan Taspi Trading Coy alias perusahaan bis antar kota Piposs. Untuk menjadi supir bis di sebuah perusahaan, tentu tidak  sekedar bisa mengemudi. Made harus melewati jenjang karir ala kantoran, mulai dari jadi kernet, sopir mobil servis penumpang, lalu naik jadi sopir bantu, kemudian bisa menjadi sopir utama. Butuh waktu yang cukup lama untuk mencapainya.
Dua tahun setelah menikah, barulah mereka dikaruniai anak perempuan. Saat itu Nurmi baru berusia 18 tahun. Karena tidak bekerja, ia menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga, sesekali menjahit dan merajut pakaian anak pertamanya. Anak perempuan itu mereka beri nama Besse Megawati, dan dua tahun kemudian anak keduanya lahir mereka beri nama Rahmat Zulkifli. Anak perempuannya sering sakit dan dianggap namanya yang memberikan pengaruh besar atas kondisi tubuhnya yang lemah. Jadilah Besse Megawati diganti menjadi Eka Wulandari.
Nah,kira-kira sampai di sini kalian sudah tahu kan siapa yang saya bicarakan? Mari kita lanjutkan, tentu saja dengan model bercerita, saya sudah masuk dalam kisah ini! ^^
Made dan Nurmi memiliki sebuah rumah kayu mungil yang rangkanya dibuat di kampung, lalu dibawa ke Makassar. Dindingnya berbahan anyaman bambu, yang kita kenal di Makassar dengan sebutan gamacca. Saya sangat suka rumah itu, terlebih warna dindingnya, biru muda. Letak rumah kami persis di samping got besar dalam kompleks. Kami cukup lama tinggal di kompleks Piposs, jalan Dahlia,kecamatan Mariso. Hingga tahun 1998-1999, perusahaan menjual kompleks perumahannya untuk diubah menjadi perumahan yang cukup elit, Pesona Taman Dahlia.
Akhirnya kami pindah ke jalan Deppasawi, di samping kampus Atma Jaya. Saya juga sangat menyukai posisi rumah kami di sana, ada sawah luas di depannya, lalu ada empang, dan tentu saja karena cukup dengan berjalan kaki atau naik sepeda, kita sudah bisa sampai di pantai yang kini berbayar jika ingin dikunjungi, Akkarena. Tidak cukup lama, sekitar lima tahun, semuanya berubah. Sawah di depan rumah kami ditimbuni dan dibangun perumahan Tanjung Bunga. Di depan rumah kami berdiri tembok tinggi, tak ada lagi jalan pintas menuju pantai.
Rumah kami tak pernah sepi, selalu ada keluarga yang dan tinggal di rumah kami. Kami cukup bahagia dengan itu semua. Saya dan Upi-adikku, senang singgah di bengkel Piposs jika pulang sekolah untuk menunggui Made selesai memastikan mobilnya siap untuk dikendarai lagi malam hari nantinya. Oya, dulu ketika kami berdua SD, Made sudah pada posisi supir utama sebuah bis, ia memilih rute perjalanan malam. Jadilah kami sering ikut keliling-keliling, mulai Palopo hingga Mamuju. Tiap pekan, ada satu hari libur dan kami akan menghabiskannya dengan menikmati nasi goreng di Pantai Losar atau sekedar ber-karaoke di rumah. Dan saya sangat menikmati itu semua.
Tapi tentu saja dalam setiap keluarga ada saja suatu permasalahan yang muncul, dan kita mesti cukup kuat untuk bertahan. Ketika saya berusia 10 tahun, Made memilih untuk menikah lagi. Tentu saja ini cukup mengejutkan dan membuat suasana keluarga kami tegang. Yang mengagumkan adalah Nurmi tetap bertahan dengan bersedia dipoligami. Sangat sabar menurutku. Nurmi pernah bilang, bagaimanapun Made punya hak untuk memilih jalan yang ia mau. Nurmi sangat yakin Made adalah orang yang bertanggung jawab. Dan terbukti, meski kami pernah berada di masa yang cukup menyedihkan, namun kini kami masih bertahan dan menikmatinya, tentu saja kami bisa melewatinya. Made dan Nurmi mengajarkan saya bahwa jika adalah sebuah kesalahan yang pernah mereka lakukan, menghindar bukan cara yang baik. Menghadapi dan tentu saja belajar dari kesalahan itu.
Sejak SMA saya tak lagi tinggal bersama mereka. Dan yang membuat saya hingga saat ini mengagumi keduanya, karena rasa percaya mereka berikan pada saya untuk memilih dan menjalani segala keputusanku sendiri. Apapun itu, meski tentu saja mereka punya beberapa harapan ini itu, tapi tetap saja keputusan pada saya sendiri. Saya bebas ke mana saja, tentu saja dengan tanggung jawab pada resiko yang siap kuhadapi sendiri, keduanya selalu mendukung. Saat SMA saya memilih jurusan Bahasa, lalu saat kuliah saya memilih pindah jurusan, atau adikku yang memilih berhenti sekolah sebelum tamat SMP, keduanya hanya selalu bilang: kau yang jalani, kami hanya bisa mendukung.
Jika hari ini saya begitu menikmati duniaku sendiri,  itu berkat keduanya yang tidak pernah mengekangku. Made juga selalu membiasakan kami, anak-anaknya untuk tidak begitu serius dan santi menikmati hidup. Suatu waktu, ketika saya bilang sedang sangat sibuk pada suatu pekerjaan, Made mengirimiki pesan singkat "Jangan mau diatur sama pekerjaan, mestinya kau yang atur pekerjaan, jangan kayak saya sekarang" Hehehe...
Saat ini Made dan Nurmi memilih menetap di sebuah rumah kos di Toraja, keduanya masih percaya tentang ramalan orang Bugis dulu mengenai rejeki mereka. Made masih berprofesi sebagai sopir tujuan Makassar-Toraja di sebuah perusahaan bis baru, Metro Permai. Nurmi berjualan aksesoris di Pasar Makale. Rumah kos yang sangat kecil itu juga tak pernah sepi. Banyak teman saya dan Upi pernah datang ke sana, semacam  menjadi tempat singgah buat backpacker hehehe. Nurmi pernah bilang, yaaa meski kita bukan orang kaya, tapi setidaknya dengan cara itulah Tuhan memberikan kita kesempatan untuk berbagi. Ya, setidaknya kalau  tak sempat keluar negeri, paling tidak sudah ada yang mengingat kita di luar negeri. Hehehe...
Oya, dari pernikahan Made yang kedua, juga dikaruniai dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Namanya Tri dan Aldi. Kami sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan, atau berkumpul di Toraja jika libur panjang tiba.
Bukankah kedua orang ini cukup keren? ;)
Tanggal 21 kemarin, usia pernikahan mereka mencapai 25 tahun, empat hari sebelumnya usiaku mencapai 23 tahun. Cukup untuk kami semua belajar memaknai kehidupan ini. Tak ada harapan pasti, hanya ingin tetap menikmati hidup sampai kapanpun kita bisa bertahan.
Selamat hari ulang tahun pernikahan Made dan Nurmi ^^

2 komentar:

Hanamilia mengatakan...

mantap! ^_^d

Mugniar mengatakan...

Salam kenal Ekbess :D
Saya dapat blognya dari blognya Hima.
Asal orangtua ta' sama, bapakku juga orang Soppeng - Wajo.

Kagum sama kedua orangtua ta'.

Sekarang, indah dirasa punya beberapa saudara meski ada yang sebapak saja ya. Kagum sama ibu ta', masih muda sekali lho, hanya lebih tua 3 tahun daripada saya. Berarti waktu nikahnya dulu muda sekali di' masih belasan, tabah sekali pula dipoligami. Enak juga, anaknya sudah besar2 sekarang. Anakku yang sulung masih kelas 6 SD. Ah, tapi saya tidak menyesal ji :D