Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Selasa, 29 Maret 2011

Tentang Muhammad Salim



Sesi foto bareng saat perkuliahan berakhir

Kemarin, dosen yang cukup kukagumi di Sastra Daerah meninggal dunia. Kami memanggilnya Pak Salim. Beliau meninggal dalam usia 75 tahun.

Saya hanya sempat berguru pada beliau selama satu semester. Tepatnya pada mata kuliah Kajian La Galigo dan Kemahiran Menulis Bahasa Bugis semester lalu. Saya cukup merasa kehilangan. Tak banyak orang yang memiliki pengetahuan luas seperti beliau mengenai lontara.

Saya selalu mengagumi beliau, daya ingatnya cukup kuat, mengingat usianya yang semakin senja. Perbincangan menarik selalu terjadi pada jeda kuliah antara kuliah Kemahiran Menulis Bahasa Bugis dan Kajian La Galigo. Beliau selalu menceritakan kepada saya tentang pengalamannya saat masa penjajahan Jepang, bagaimana di sekolahnya para siswa dipaksa untuk bisa menyanyikan lagu-lagu Jepang untuk membuat para tentara Jepang senang, dan hebatnya hingga kini beliau masih ingat lirik-lirik lagu tersebut. Saya sangat bersyukur, karena sempat diajar oleh beliau.

Awal perkuliahan saya sempat tak menyukainya lantaran beliau sangat tegas dalam mengajar. Sampai buku yang digunakan untuk menulis harus buku dengan merek yang ia tentukan. Tidak boleh tidak. Itu yang membuat saya sempat kesal, sebab buku yang dimaksud tak ada dijual di dekat pondokanku. Saya membeli buku merek lain, meski kemudian saya harus membeli baru sebab tidak seperti yang ia inginkan. Belakangan, pada saat belajar menulis aksara-aksara dengan menggunakan tinta cair saya baru sadar kalau buku yang ia maksud berguna sebab kertasnya tebal sehingga tak tembus.

Saya mengagumi keuletan dan pengabdian beliau. Hingga ia wafat, ia bisa menyalin dan menerjemahkan banyak naskah lontara ke dalam bahasa Indonesia, diantaranya adalah Sureq La Galigo sebanyak 12 jilid, Lontara Sidenreng, Lontara Soppeng/Luwu, Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan, Pappaseng, dan masih banyak lagi kukira. Sumbangannya sangat banyak bagi perkembangan pengetahuan. Dan tak banyak orang yang mau peduli tentang itu. Beliau mengabdi di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, meskipun tak diberi honor empat tahun belakangan ini. Tapi tak ada yang menyurutkan semangatnya untuk terus menerjemahkan lontara.

Saya ingat perkataan beliau ‘Selagi ada waktu, kalian harus belajar banyak tentang La Galigo dari saya, silahkan fotocopy aksara-aksara ini, masih untung kalau tahun depan saya masih hidup’. Sayangnya saya hanya sempat meng-copy sebuah naskah ‘Musu Maranakna La Galigo’ lengkap transliterasi dan terjemahan buah tangan beliau.

Ini saya iseng-iseng menggambar pas Pak Salim menjelaskan tentang Musu Maranakna Lagaligo ^_^

Perkuliahan berakhir di penghujung semester, dan Pak Salim tak begitu puas lantaran tidak sempat membimbing kami agar bisa menyanyikan La galigo dengan benar. Tak banyak yang pandai menyanyikannya kini. Sungguh suatu penyesalan sebab melewatkannya.

Saya belajar banyak dari beliau walau hanya satu semester. Meski tangannya sudah gemetaran saat menulis di papan tulis, tapi beliau tetap gigih datang mengajar kami. Rajin masuk kelas memberikan kuliah. Saya sepakat dengan penutup profil beliau yang ditulis Maria Serenade Sinurat dalam Koran Kompas pada tanggal 15 Maret 2011, ‘Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.’

Saya yakin, banyak yang merasa kehilangan atas wafatnya beliau.


Berikut link yang saya sarankan yang memuat tentang beliau:

Kompasiana

Indonesiaproud (tapi artikelnya dari KOMPAS)


6 komentar:

Nhinis mengatakan...

"Dunia patut berterimakasih padanya"

Untuk itu, saya pun berterimakasih pada beliau, semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah..

Sayang sy spertinya tdk pernah melihat beliau di kampus -__-?

Seperti apa ya orangnya :)

Btw, lagu jepang apa yg dia nyanyikan eka ?? :D

Ekbess mengatakan...

Banyak, salah satunya ada pernah dulu dia tulis untuk dicarikan artinya,
tapi yenni sama eni menyerah
ndak menger bede...hehehe

kuingatki Hosono Sensei, tegas orangnya juga...

BLACKBOX mengatakan...

wah....: keren: semoga pengabdiannya mendapatkan penghargaan tinggi dari Sang Maha Kuasa

auraman mengatakan...

semoga akan ada pak salim berikutnya, beliau pantas mendapat gelar Guru tanpa tanda jasa ^_^

Anonim mengatakan...

ngomong budaya & bahasa daerah jadi teringat masa SD dulu, waktu itu qt di ajar oleh ibu Saripah Intan, masihn ingat ekbes'???(wali kelastajie dulu')

ekbess lanjutkan perjuangan beliau
amalkan smua yg telah kau petik dr beliau.

kelak klu ada anakku nanti saya kasih privat di rmhmu ,

nb: tp privat'x harga temanmo nagh diskon cest'... hehehehhe...'

Ekbess mengatakan...

@Anonim: nassami masih kuingat, ada dosenku di sini toh sama gaya-gayanya...bagaimanami kabarnya itu dih? rinduku...
dulu saya paling ndak kusuka pelajaran muatan lokal ka saya orang bugis baru pelajaranta bahasa makassar, nassami ndak mengetiki :(

bah, assala kauji...