Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Rabu, 28 Januari 2009

Uluran Persahabatan Para Bikkhu

berikut reportase ketiga, kali ini saya berduet dengan seorang teman sesama peserta kelas menulis yang diadakan oleh Panyingkul bekerja sama dengan Pantau, namanya Marlin Herlina
reportase ini saya tulis setelah mengunjungi sebuah festival Biddhish di mall GTC Makassar
bagitu banyak memberi pelajaran
silahkan klik panyingkul.com dan lihat betapa menariknya foto-foto saat festival berlangsung


Indahnya kerukunan antar umat beragama. Kalimat inilah yang saya dengung-dengungkan sepulang mengunjungi festival Buddhist di Mall GTC Makassar tanggal 22-31 agustus lalu. Bagaimana tidak, banyak hal menarik yang saya temui di sana. Bertemu dengan orang yang sama sekali tidak saya kenal membuat saya bertambah teman yang datang dari latar belakang yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman pun turut menghiasi catatan harianku. Sebagai orang awam tentang agama Buddha tentu saja saya sangat senang atas diadakannya festival Buddhist ini. Saya bisa mendapat informasi lebih banyak tentang agama Buddha.

Memasuki pintu masuk saya merasa asing, sangat asing. Hari itu, 30 agustus 2008 sore, saya satu-satunya pengunjung yang tidak bermata sipit, berkulit gelap dan memakai jilbab. Saya bisa melihat tatapan heran pengunjung lain pada saya. Apalagi saya seorang diri. Wajar menurut saya. Saya menikmati diorama perjalanan hidup Buddha sebagai sambutan pada pameran ini. Tata letaknya sangat menarik perhatian. Ada anak panah yang menjadi pengiring perjalanan pameran ini. Saya merasa seperti berpetualang di dunia lain saja, sebab semuanya asing. Setelah melewati diorama, dua Bikkhu dari Tibet dan Nepal menyambut ramah. Meski tak mampu berbahasa Indonesia, setidaknya saya bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa Inggris sekedar menanyakan apa yang mereka lakukan. Sang Bikkhu dari Tibet jago melukis sedangkan Sang Bikkhu dari Nepal sedang serius membuat patung Buddha dari tanah liat yang bahannya ia bawa dari Surabaya. Ini pertama kalinya saya bertemu secara langsung dengan seorang Bikkhu.

Setelah meninggalkan dua Bikkhu tadi, saya melanjutkan perjalanan menyusuri alur festival ini. Ruang Tipitaka adalah tempat selanjutnya. Di ruang ini saya bertemu dengan salah satu panitia relawan bernama Bumi. Pemilik toko Bumi Komputer ini mengaku senang sekali bergabung menjadi bagian acara ini. Awalnya ada 100 orang yang mendaftar menjadi relawan di festival ini, tapi semakin hari semakin berkurang. Bumi sendiri merasa bertanggung jawab, ia setiap hari meluangkan waktunya menjadi pemandu pengunjung di ruang Kitab Suci Pitaka.

Motivasinya bergabung menjadi relawan adalah untuk memperjelas segala sesuatu yang kabur dalam hal pengenalan agama Buddha dan memberikan edukasi pada pengunjung. Sore itu, saya banyak mendapat penjelasan dari Bumi. Hal yang membuat saya berdecak kagum, karena panitia berusaha keras menjadikan kegiatan ini sebagai sarana edukasi.

Berbagai contoh kitab suci yang sengaja didatangkan dari Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand agar bisa dilihat secara langsung oleh pengunjung. Tak ketinggalan sederet rak yang dipenuhi kumpulan kitab suci yang berbahasa Mandarin.

Di ruang ini saya banyak mendapat penjelasan tentang panjangnya kitab suci agama Buddha. Kisah yang dipajang pada diorama saja yang menurutku lumayan panjang, dalam kitab suci Pitaka tertuang dalam satu bab saja, yaitu Bab 14. Bab ini dibukukan hasilnya berjumlah 3 buah buku yang masing-masing ketebalannya menyaingi buku Harry Potter and The Order of The Phoenix. Tipitaka sendiri berarti 3 keranjang. Berisi 84.000 pokok bahasan, itu selama 45 tahun Buddha mengajar. Sedangkan orang yang melakukan tradisi menghapal kitab suci disebut Tipitakadhara. Dari ruang ini pula saya diberi penjelasan tentang sejarah hadirnya patung Buddha. 500 tahun setelah sang Buddha wafat, ada seorang Bikkhu yang sengaja membuat patung sang Buddha dikarenakan ia sangat sulit mengimajinasikan bagaimana rupa sang Buddha.

Oleh Bumi juga saya dijelaskan tentang 3 aliran dalam agama Buddha. Ketiga aliran itu masing-masing menghadirkan patung Budddha yang berbeda di lokasi pameran. Ada Therevada, Mahayana, dan Tantrayana.

Dari ruang kitab suci saya berangkat menuju ruang relik. Ruangannya tertata dengan rapi dan menawan. Sangat tampak suci karena semua perlengkapan puja, yaitu Patung Buddha, lilin, bunga, buah, dan air ada di ruang itu. Juga dijelaskan tentang makna tiap warna yang menjadi wadah lilin-lilin tersebut yang mewakili warna bendera Buddha. Biru berarti bakti, kuning bijaksana, merah cinta kasih, putih kesucian, dan jingga kegiatan.

Setelah berkeliling, mengikuti alur pameran sampailah saya pada tempat patung Buddha terbesar yang telah mendapat rekor MURI. Di depan patung ini, adalah ruang yang sejak awal membuat saya ingin segera memasukinya. Saya tak sabar menukarkan potongan karcis saya dengan sebuah buku. Senang rasanya mendapat pengetahuan baru plus buku gratis.

Siapa di balik festival ini?
Adalah BEC sebagai pelaksana utama acara ini. BEC (Buddhist Education Centre) adalah komunitas non wihara yang bertujuan memberikan informasi yang benar tentang agama Buddha. Komunitas ini berpusat di Surabaya. Makassar adalah lokasi kedua setelah Surabaya diadakannya festival seperti ini. Festival di Surabaya berlangsung pada tanggal 25-30 juni 2008. Setelah Makassar, kota Manado, Jakarta, dan Pekan Baru pun bersiap mengadakan acara yang sama. Semua media pameran BEC lah yang menyediakan.

Sedangkan panitia dari Makassar sendiri menyediakan segala peralatan yang diperlukan di lapangan seperti notebook, televisi, dan rantai pembatas. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang silaturrahmi bagi mereka panitia yang berdomisili di Surabaya dan Makassar. Bisa saling mengenal sesama adalah hal yang membahagiakan.
Kegiatan festival ini adalah even lima tahunan. Pertama kali diadakan pada tahun 2003. Tahun ini pulalah resmi terbentuknya BEC sebagai pusat menemukan informasi mengenai agama Buddha itu sendiri. Banyaknyanya aliran menjadi alasan didirikannya komunitas ini, BEC berinisiatif menjadi jalan tengah untuk itu. BEC mengambil banyak pelajaran dari Master Haitou seorang Bikkhu Taiwan yang merasa perlunya didirikan komunitas pemersatu tanpa memandang aliran-aliran tertentu.

Saat ini ketua komunitas BEC adalah Sutanto Adi. Sedangkan yang menjadi staf lapangan pada kegiatan ini salah satunya Yuska. Ia sendiri adalah seorang penganut agama Islam. Ia sudah dua tahun mengabdikan diri pada BEC untuk membantu mereka yang membutuhkan informasi tentang agama Buddha.

“Apapun itu, menurut saya semua nilai kebaikan itu harus didukung. Saya juga tahu batasan-batasan posisi saya di sini. Saya senang mendukung niat baik komunitas ini,” kata Yuska dengan logat arek-arek Suroboyo yang kental.

“Agama itu kan adalah rambu-rambu yang mengantarkan kita mejadi bahagia dan damai. Sebelum bergabung di sini saya banyak membatu kegiatan penganut agama Kristen. Bukankah itu indah? Saya tetap pada agama saya, dan mereka juga pada agama mereka. Persaudaraan itu tak memandang apapun, termasuk agama,” lanjutnya.
Sungguh pengalaman menikmati keragaman beragama di pameran ini membuat hati saya tergetat. (p!)

Tidak ada komentar: