selanjutnya, tulisan keempat
kali ini adalah potret perempuan di sebuah pulau di Makassar bernama Pulau Barranglompo
tulisan ini kubuat setelah mengunjungi pulau ini pertama kalinya, bersama seorang teman sesama citizen reporter panyingkul.com yaitu Luna Vidya dan Ivan Firdaus
kepada mereka saya banyak belajar, ayo kunjungi tulisan mereka di panyingkul.com
Banyak perempuan di Pulau Baranglompo – sekitar 13 kilometer sebelah Barat Kota Makassar -- yang dipaksa keadaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang tidak sepenuhnya tertutupi oleh hasil usaha sang suami. Kisah Bibi Nio yang pertama kali mengenalkan bentor di pulau itu, hanya salah satu contoh.
Kisah kali ini tentang Muliati, seorang “wanita karir” yang lain di pulau itu. Dengan bermodalkan gerobak dorong dengan barang jualan yang dimodali oleh seorang ibu bernama Hj. Tallasa, ia pun berkeliling pulau. Sudah lima tahun ia menjalani usahanya.
Setelah selesai shalat dhuhur ia akan bergegas ke pelataran mesjid Al Ihsan. Di sana ia memulai berjualan setiap harinya. Mengapa Masjid? Sebab di siang hari, di masjid itu ada kurang lebih 200 anak yang mengikuti kelas Taman Pengajian Alquran.
Mama Muli, begitu id disapa oleh anak-anak itu, merasa beruntung bahwa Hj. Tallasa mau membantunya. Ia diberikan modal awal Rp500 ribu. Setiap hari ibu tiga anak ini harus menyetor Rp20.000 sampai 40 hari. Meskipun sangat jauh perbedaan keuntungannya, ia tak mempersoalkannya. Ia tak punya pilihan lain. Melalui Hj. Tallasa pula ia diberi keringanan tidak menyetor dalam sehari jika ia tak mampu, walaupun keesokan harinya ia menyetor bayaran dua hari.
Ada bantuan pemerintah untuk hal permodalan seperti itu. Namun Muli merasa kurang puas sebab jika menginginkan bantuan modal ia harus menggunakan jasa pengurus. Jumlah yang diminta Rp500 ribu namun yang sampai di tangannya hanyalah separuh. Sisanya masuk kantong si pengurus tadi.
Berbeda dengan wanita karir yang ada di kota-kota besar, Muli tak membutuhkan make up untuk memulai harinya. Potongan rambutnya yang pendek, celana pendek dan baju lengan pendek cukup baginya. Toh tak ada lagi kesempatan berganti pakaian setelah melakukan tugasnya di rumah dari pagi hingga sebelum dhuhur.
Pagi-pagi ia mengurus segala kebutuhan suami dan anak-anaknya sebelum mereka melakukan rutinitas masing-masing. Suaminya, Ilyas, bekerja sebagai anak buah kapal. Anak pertamanya Sainal, setamat SD, memilih ikut bekerja dengan bapaknya menjadi ABK cilik di kapal pengangkut penumpang dari Makassar ke Baranglompo. Kapal itu bernama Novita Sari. Meskipun usia Sainal masih tiga belas tahun, namun ia sudah mampu mengemudi kapal.
“Biasa tong ada orang yang tegurka, bilang kupekerjakan anak di bawah umur. Tapi yang mana kita pilih, daripada kubiarkan itu anak jadi pengangguran karena tidak mau tonji sekolah,” kata Haji Dahrin, pemilik kapal Novita Sari.
Sedangkan dua anak Muli, Saipul dan Saida kini duduk di bangku kelas yang sama, kelas lima.
“Itu anakku tidak ada yang tidak rangking,” ungkapnya sembari mengusap kepala Saipul yang baru saja tiba dari menjual air.
Penghasilan tambahan lain keluarga Muli adalah menjual air bersih. Sebagai pemilik kapal, Haji Dahrin merasa bartenggung jawab atas kesejahteraan anak buahnya. Ia memberikan jerigen sebanyak 10 buah pada keluarga Muli. Jerigen-jeringen itu untuk diisi air bersih dari Makassar dan dijual di Baranglompo. Sepulang sekolah Saipul berkeliling pulau menawarkan air itu, Rp2.000 per jerigen, seberat 35kg.
Haji Dahrin tak bisa menjamin cukup atau tidaknya gaji yang ia berikan pada Ilyas dan anaknya perbulan. “Bawa kapal beginian pasang surut istilahnya, karena pendapatan tidak menentu,” jelas Haji Dahrin. “Makanya kukasih jerigen, dan kugratiskan untuk biaya angkutannya dari Makassar ke pulau,” lanjutnya.
Sebelum menjadi pedagang keliling, Muli mencukupi kebutuhan keluarganya sebagai tukang cuci. Biasanya ia diupah Rp3000-Rp5000. Namun seiring berjalannya waktu kebutuhan keluarganya semakin bertambah. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan usahanya kini. Walaupun kadang-kadang ia masih biasa membantu mencucikan pakaian tetangganya.
“Sejak gadis kusuka mentong bantu-bantu orang, yang penting kan dapat uang halal,” tuturnya.
Jika tak banyak pekerjaan di rumah, Muli akan pergi mencuci pakaian orang yang meminta tolong padanya. Selanjutnya ia mulai mendorong gerobak dagangannya paling cepat pukul 12 siang. Lalu kembali ke rumah setelah magrib. Tentunya setelah ia mengelilingi pulau yang dihuni oleh kurang lebih 968 kepala keluarga itu.
Dagangan Muli bisa dikatakan serba ada. Roti, wafer, permen, krupuk, dan minuman dingin. Juga ada buah-buahan, salak, jambu merah, jambu putih, jeruk, mangga, apel, kedondong, mentimun, dan buah khas Makassar rappoliukang. Bahkan ia juga menjual telur rebus.
Setiap hari minggu Muli menyebrang ke Makassar untuk membeli barang dagangan tersebut. Kecuali buah apel dan mangga yang ia peroleh dari teman kecilnya yang bekerja sebagai pelayan toko buah yang ada di Jalan Sulawesi, Makassar. Ia dipercaya menjual kedua jenis buah itu,dengan system konsinyasi. Begitu pula dengan minuman dingin, adalah titipan tetangga Muli. Jika minuman laku misalnya Rp10.000 maka ia kan diberi imbalan Rp1000.
Tak jauh dari tempat Muli menjajakan barang dagangannya pada anak-anak pengajian, Yanti berdiri dengan gerobak sepeda, juga sedang menjajakan dagangan.
Bedanya jika Muli berada di dalam pekarangan masjid, Yanti memilih di luar pagar yang tidak terlalu tinggi, sehingga meskipun dari dalam pekarangan, pembeli tetap bisa menjangkaunya.
Yanti mengaku sudah sepuluh tahun menyambung hidup di pulau ini. Yanti sendiri lahir di Jawa. Pantas saja anak-anak memanggilnya dengan sebutan Mbak. Walaupun selintas ia sudah seperti penduduk asli Baranglompo. Bahasa yang ia gunakan tak seperti orang Jawa pada umumnya yang medhok. Yanti malah berlogat Makassar.
Di Baranglompo ia sudah beberapa kali berganti dagangan. Mulai dari bakso, batagor, sate, lalu kini ia menjual pentolan. Pentolan yang dimaksud adalah bakso atau nyoknyang dibalut dengan gorengan telur campur daun bawang dan daun seledri. Namun agak berbeda dengan pentolan yang dijajakan pada umumnya, Yanti memilih bakso tahu sebagai isi balutan telur goreng itu. Tak bisa dipungkiri naiknya harga barang yang membuatnya demikian. Lumayan, ia bisa meraup untung rata-rata Rp20.000 perhari. Sebagai tambahan untuk pendapatan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan.
Untuk bahan baku, Yanti tidak perlu repot menyebrang ke Makassar. Setiap hari ia bisa menitip barang belanjaan pada seorang yang bernama Daeng Nasir.
Yanti menceritakan kisah hidupnya di pulau itu. Awalnya kakak ipar Yanti yang berdagang di sana, namun merasa sudah lama meninggalkan kampung halaman, ia pun kembali dan menyarankan agar Yanti bersama kedua saudaranya ke sana. Di Baranglompo pula Yanti bertemu jodohnya, Musa, yang juga seorang perantau dari Kendari, Sulawesi Tenggara.
Walaupun sudah bertahun-tahun tercatat sebagai warga pulau, Yanti dan kedua saudarnya beserta keluarga masing-masing masih mengontrak rumah.
Yanti kini telah memiliki tiga orang anak. Yang sulung dan anak keduanya sudah duduk di bangku kelas dua. Usianya tidak beda jauh. Sedangkan anak bungsunya masih bayi.
Baik Muliati maupun Yanti, seperti perempuan lainnya di pulau itu, juga tidak lupa pada kegiatan arisan bulanan. Kegiatan ini selalu ramai oleh ibu-ibu se-kelurahan. Tiap hari minggu awal bulan acara ini diadakan di kantor lurah. Ini menjadi ajang bersilaturahminya para ibu-ibu pulau. Arisan itu sebenarnya bukan per-kelurahan, melainkan per-RT. Namun diadakan secara bersamaan di kantor lurah, selanjutnya diundi per-RT.
“Bisa kita bayangkan kantor lurah yang tidak seberapa besarnya itu dibanjiri kurang lebih dua ratus ibu-ibu,” kata Ridwan, kepala asrama Universitas Hasanuddin di Baranglompo yang letak rumahnya berada di depan kantor lurah.(p!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar