Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Minggu, 20 April 2008

Karena Aku Khawatir Jika Kau Tak Menangis

BUKAN aku cengeng jika ribuan tetes air jatuh di bawah mataku. Mengalir sedikit demi sedikit, membentuk sepasang sungai kecil di wajahku, wajah yang kelak tak melengkung ke depan karena dimakan tahun. Sepasang sungai kecil itu berhenti di runcing tak sempurna daguku. Lalu hilang, menguap, entah ke mana. Namun tak jarang muara sungai itu aku temukan di bawah sana, di dekat kakiku, atau melekat dan memeluk erat benang-benang di tubuhku.
Aku benci jika ada orang mempertanyakan kesedihanku. Aku tak sedang bersedih ketika ada sungai mengalir di wajahku. Mereka salah. Mereka terlalu sok tahu. Aku menguras air yang sudah tak dapat bertahan di dalam mataku. Hanya itu yang aku lakukan.
Satu persatu mereka membujukku buat bercerita. Tangis. Begitu mereka menamai sungai kecilku. Terserah. Aku tak peduli.
Aku hanya ingin mereka tak ikut campur atas air bening ini. Aku mengeluarkannya dan membiarkan mereka berpisah dari jasadku, karena mereka pantas untuk itu. Memang itulah jalannya, sebuah pengorbanan untukku. Itu urusanku.
Sungai-sungai itu tahu bahwa ada anugerah senyum di wajahku. Mereka selalu ingin melihatnya. Namun aku tak pernah mengerti. Setelah ia berlalu mengucapkan salam perpisahan, yang kuselingi suara parau, barulah senyum itu terbit.
Ya, aku merasa lega setelah sepasang sungai itu mengalir di pipiku. mereka memberiku kepuasan. Perasaan yang mengganjal ikut mengalir bersama sungai kecilku itu. Akhirnya seperti semula, aku kembali ceria.
Namun Ettaku,
Tak pernah kulihat sungai kecil itu di wajahmu. Padahal aku tahu, sungai itu telah lama berdesakan ingin melewati jalan, seperti yang dilalui sungai kecil di wajahku. Biarkan mereka meninggalkanmu. Jangan halangi mereka. Lihatlah aku, begitu lega telah membiarkan mereka menghilang.
Atau bukan dengan cara itu kau bisa tersenyum lega?
Apa kau terlalu sayang hingga kau tak mau berpisah dengan mereka?
Lalu dengan cara apa kau bisa setegar ini?
Padahal aku yakin, terlalu banyak es yang mengganjal di pikiran dan di hatimu.
Dengan cara apa kau bisa mencairkannya?
Jangan-jangan kau hanya malu mengeluarkan air itu!
Ayo Etta, menangislah. Buang semua yang ingin kau buang lewat sepasang sungai itu. Mereka ikhlas membantumu, demi sebuah senyum yang mereka nantikan. Buanglah hingga tak bersisa, dan kau pun lega.
Tanpa mengurangi wibawamu. Kau tetap menjadi pria sejati. Menangislah, tapi bukan karena kau pria cengeng.
Karena aku khawatir jika kau tak menangis.

1 komentar:

ayarichan mengatakan...

Karena aku juga khawatir kalau kau sering menangis, wuahahaha....

Pertama kulihat si Besse menangis waktu hardisk Laptop kesayangannya rusak, lucu....

hohoho...