Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Sabtu, 11 Desember 2010

Putu Nangis di Makassar, Putu Cucu’ di Sengkang


Putu Nangis alias Putu Ayu.
Foto : Eka Besse Wulandari.
Makassar. Malam

Seorang tua mengayuh sepeda bergerobak samping. Obor menyala di sudut gerobaknya. Isinya tak lain sebuaah kompor mini serta alat dan bahan untuk membuat putu ayu.
Ngiiiikkkk…ngiiikkk…

Bunyi yang mengiringi kayuhannya. Bunyi yang mengingatkan kita pada suara tangis. ,Dan karenanya, orang-orang di Makassar menamai putu ayu yang dijajakan orang tua itu dengan “putu nangis”. Dan karenanya wajar jika kurang mengenal nama aslinya.

Putu ayu adalah penganan berbahan tepung beras. Seperti kue tradisional lainnya, membuatnya mudah. Tepung dicampur air daun pandan lalu dibiarkan sedikit kering. Dikukus dengan cara dimasukkan dalam cetakan berbentuk silinder lalu ditaruh di atas panci kukus. Tak lupa dimasukkan taburan gula aren di tengah putu. Hanya setengah menit, putu sudah siap makan lengkap dengan taburan kelapa.

Setelah salat magrib, bunyi ngik-ngik biasanya sudah terdengar di sekitaran pondokanku, di danau UNHAS, yang juga dikenal dengan sebutan pintu nol. Biasanya teman pondokan pun telah siap dengan piring masing-masing. Bersiap memesan dan menikmati manisnya putu nangis beraroma pandan.

Adalah Budi, penjaja putu langganan kami Menurut Mas Budi-saya memanggilnya seperti itu-- putu itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti cucu.
Konon ada seorang nenek yang membuat kue putu (saat itu belum bernama) untuk cucunya. Lalu seorang datang bertanya

“Nek ini kue apa?”

Maklum sudah tua, nenek mengira orang tersebut menanyakan untuk siapa kue itu diberikan. Nenek pun menjawab “putu!” sebab ia memang membuatkan kue itu untuk cucunya.

Menurut Budi, putu ayu atau putu nangis di Sulawesi Selatan sudah ada sekitar tahun 80-an. Dibawa oleh orang Brebes, Jawa Tengah. Menurutnya pula para pedagang putu ayu yang ada di Makassar berasal dari satu kampung yang sama dengannya, yaitu Brebes. Budi sendiri telah berjualan putu kurang lebih 10 tahun. Selama kurun waktu tersebut ia pernah berganti jualan bakso, tapi akhirnya kembali lagi menjual putu karena banyak saingan.

Dengan berjualan putu, Budi mampu manghidupi istri dan anaknya yang hingga saat ini sudah SMP di kampungnya. Ia lebih memilih tinggal di Makassar bersama seorang rekannya dan sesekali pulang kampung.

Terkadang Budi merasa risih karena masyarakat di Sulawesi Selatan ini terlalu tinggi gengsinya. Ia selau merasa di anggap remeh oleh ibu-ibu pembelinya.

“Saya heran juga, kenapa ya orang sini tidak ada yang coba jualan putu? Padahal gampang lho membuatnya dan tidak ribet bahannya. Hasilnya pun menguntungkan,” ungkapnya dengan logat Jawa campur Makassar.

Lain dengan Yahya, juga berasal dari Brebes. Sudah 16 tahun di Makassar menjual putu ayu. Tidak pernah berganti dagangan. Ia tinggal di Pampang,Makassar bersama 10 orang rekannya yang juga menjual putu ayu. Menurutnya ada kurang lebih 100 orang Brebes yang menjual putu ayu di Makassar. Di kampungnya sendiri, justru kurang yang berjualan putu ayu. Mereka lebih banyak merantau untuk berjualan.

Sama dengan Budi, Yahya juga perantau yang keluarganya di kampung. Biasanya ia pulang kampung 4-5 bulan sekali.
“Awalnya kami jualan putu pake pikulan, di Brebes sampe sekarang juga masih ada yang kayak gitu. Tapi supaya hemat tenaga makanya pake sepeda. Kalo di Sumatra orang jualan di warung, nggak keliling,” jelas Yahya, juga dengan aksen Jawa tambah sedikit Makassar.

Jika musim hujan, keduanya tetap berjualan. Selalu ada payung di sisi gerobak mereka. Berjualan putu ayu, tidaklah susah. Bahkan menyenangkan bagi mereka. Hanya saja ,terkadang yang membuat mereka selalu was-was jika malam mulai larut dan dagangan belum habis. Seringkali mereka dapati orang yang tengah mabuk dan terkadang mengganggu mereka.

Mengenai alasan mengapa lebih memilih berjualan pada malam hari, Budi mengatakan makanan khas Sulawesi Selatan biasanya di jual pada pagi hari sampai siang. Makanya mereka lebih memilih malam hari. Juga karena putu ayu enak dimakan pada saat udara dingin, karena disajikan dalam keadaan hangat.

***


Sani sang pakar putu cucu` di Sengkang.
Foto: Eka Besse Wulandari.




Sengkang. Pagi

Jikalau Anda mengunjungi Kota Sengkang Kabupaten Wajo silakan berjalan santai di pagi hari. Beberapa di sudut kota Sengkang ada tongkrongan yang terkadang ramai oleh orang yang sedang menunggu pesanan. Mereka antre di gerai yang buka hanya pada pukul 4 subuh hingga pukul 9 pagi. Tersedia berbagai penganan. Putu cucu’ salah satunya.

Jenis putu satu ini rasanya asin. Berbeda dengan putu ayu. Lalu apa gerangan kemiripan putu ayu dengan putu cucu’?

Kedua kue putu ini sama-sama berbahan tepung beras. Ya, semua kue putu saya rasa terbuat dari tepung beras. Lalu sama-sama dikukus. Keduanya sama-sama menggunakan kelapa sebagai pelengkap. Nah, yang menjadi bahan kemiripan kedua putu ini adalah putu ayu dan putu cucu’ sama-sama menggunakan cetakan pipa dalam bahasa bugis disebut timpo.

Asal kata cucu’ ini berasal dari cara membuatnya. Yaitu disodok.Karena bahasa Bugisnya menyodok adalah ma’cucu’.

Cara membuat putu cucu’ sama dengan cara membuat putu ayu. Bahannya saja yang berbeda. Untuk membuat putu cucu’ membutuhkan tepung beras biasa Campur tepung beras ketan dengan perbandingan 2:1, tambah garam secukupnya dicampur air juga secukupnya. Untuk bungkusan cukup dengan daun pisang. Sangat sederhana.

Supaya lebih enak menikmati putu cucu’, biasanya saya dan keluarga meremasnya sebelum membuka bungkusan daunnya. Kata Bapak saya, supaya kelapanya meresap ke dalam putu. Lebih gurih rasanya.

Di sekitar pusat perbelanjaan kota Sengkang saya sering menemui dua tongkrongan penjual panganan putu cucu’. Satunya di bagian depan jalan Jawa, sedangkan satunya di bagian ujung jalan Jawa.

Adalah Indo` Selo yang berjualan di bagian depan Jalan Jawa. Ia mengaku sudah lima tahun berjualan putu cucu’. Ada dua jenis putu cucu’ yang selalu ia sediakan, yaitu pulu’ bolong dan pulu’pute. Masing-masing berarti ketan hitam dan ketan putih. Menurut pengamatannya putu pulu’ pute lah yang paling laris.

Per hari Indo Selo bisa menghabiskan 8 liter tepung beras, bahkan di hari libur bisa sampai 10 liter. Dari situ keuntungan yang ia peroleh mencapai 50-70 ribu rupiah setiap hari. Ia berjualan putu mulai pukul 4 subuh sampai 9 pagi. Setelah itu ia menjual di warung sarabba yang tak jauh dari tempatnya berjualan putu sampai jam 12 malam. Sebab ia single parent maka ia haru berjuang keras untuk menafkahi anaknya.

Menurut Indo Selo ada sekitar 20 orang yang berjualan putu cucu’ di kota Sengkang. Salah satunya Sani tempatnya berguru lima tahun lalu.

Sani berjualan di bagian ujung Jalan Jawa kota Sengkang. Ia mengaku sudah 10 tahun menggeluti pekerjaannya itu. Sani setiap harinya berjualan mulai pukul 3 subuh sampai pukul 9 pagi. Lebih awal karena pedagang pasar di sekitarnya juga selalu memesan lebih awal.

Setelah berjualan putu, ia kembali ke rumah dan menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga. Karena itu selain menjual putu, ia juga menjual sokko’ atau songkolo dalam bahasa Makassar dan surabeng sebagai penambah penghasilan.

Ketiganya banyak dicari dan memang nikmat disantap pada pagi hari.
Kalau Mas Budi di Makassar bercerita tentang asal-usul kata kue putu berasal dari baha Jawa, Sani di Sengkang mengatakan ia yakin putu itu berasal dari bahasa bugis.

Bagi saya, meski sulit membuktikan apakah Mas Budi atau Sani yang benar, yang jelas putu buatan mereka enak dan selalu membuat rindu. (p!)

1 komentar:

Nhinis mengatakan...

Berapa mi skrng harganya putu ???
Lama ku mi gang dag makan ini kue >,<