Ada orang-orang hidup tanpa hirarki sosial, tanpa hak kebangsawanan atas tanah atau monarki, kadang bahkan tanpa pemukiman atau kota-kota. Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa inilah sesungguhnya kondisi 'alamiah manusia'.

Senin, 09 Februari 2009

Ulasan Buku Hiroshima


Setelah tiga hari, akhirnya buku ini kelar aku baca. Buku John Hersey, Hiroshima. Ini prestasi tertinggi yang aku capai membaca buku non-fiksi. Seandainya bukan tugas dari Kak Dandy, aku yakin buku ini masih berada dalam deretan buku yang kutunda untuk dibaca. Kebiasaanku akhir-akhir ini, menunda, menunggu waktu yang tepat untuk menyeleasikan bacaaan. Tanpa mencari kapan waktu tepat itu hadir.
Hiroshima adalah buku yang ditulis dalam bentuk jurnalisme sastrawi. Saya sadar, terlambat membaca buku ini. Hiroshima sendiri sebelum dibukukan telah dimuat di The New Yorker setahun setelah peristiwa bom di Hiroshima terjadi.

Adalah nona Sasaki, pendeta Tanimoto, dokter Fujii, nyonya Nakamura, pastur Kleinsorge, dan dokter Sasaki yang kisahnya diceritakan dalam buku ini. Keenam orang tersebut adalah sebagian orang yang beruntung selamat dari penbgeboman ganas itu.
Buku ini mengupas kisah keenam orang di atas sebelum dan setelah bom dijatuhkan.
Buku ini terbagi dalam empat bab.
Bab pertama yang berkisah tentang perasaan tak tenang selalu menghantui akibat peperangan. Perasaan was-was selalu hadir tiap saat, membuat mereka tak nyaman dan tak dapat beristirahat dengan tenang. Belum lagi berbagai masalah yang sudah muncul sebelum pengeboman terjadi. Keenam orang yang berbeda, masing-masing memiliki permasalahan yang berbeda pula. Mulai dari persediaan makanan yang terbatas sampai pada rasa lelah akibat pulang pergi ke tempat pengungsian saat sirine berbahaya dibunyikan, tau-tau tak terjadi apa-apa. Tak ada yang merasakan kenyamanan. Sampai pada saat bom dijatuhkan. Semua berubah. Dalam bab ini mendeskripsikan kisah apa yang mereka lakukan saat detik-detik sebelum bom dijatuhkan dan apa yang mereka lakukan setelah bom jatuh dengan menghadirkan sebuah kilatan putih dan mengguncangkan seluruh Hiroshima.
Bab selanjutnya yang oleh penulis memilih Api sebagai judul bab ini menuturkan kebingungan keenam orang ini atas apa yang terjadi. Menceritakan tentang usaha keras mereka menyelamatkan diri. Jatuh bangun agar bisa selamat dari reruntuhan yang menindih sebagian tubuh dari mereka. Saya yakin saat peristiwa itu terjadi ada yang menganggap bahwa saat itu adalah kiamat, pasti tak lama kemudian meralat anggapannya. Sebab mereka masih punya rasa tanggung jawab pada orang sekitar. Tak ada yang memeningkan diri sendiri. Sedangkan yang sering dikabarkan jika kiamat tiba adalah manusia tak saling peduli lagi.
Amat perih menyaksikan pemandangan menyeramkan seperti yang terjadi tangal 6 agustus 1945 di Hiroshima tepat pukul 8.15 pagi itu. Semuanya berantakan. Pendeta Tanimoto yang tak mengalami luka sama sekali sesaat tak percaya atas apa yang ia lihat, kemudian berlari menuju bukit agar bisa melihat seluruh permukaan lingkungannya. Ternyata bukan hanya di daerah tempat tinggalnya ia bisa melihat pemandangan aneh itu, tapi hampir seluruh Hiroshima, hancur dan berantakan. Pada bab ini juga menceritakan betapa sulitnya mencari bantuan medis dan tempat aman untuk berlindung sebab sangat kurang tempat yang layak untuk digunakan. Masing-masing berusaha menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Bahkan dengan berat hati sebagian tak dapat mereka tolong saking banyaknya orang yang membutuhkan dan terbatasnya sesuatu yang bisa mereka korbankan untuk memberikan pertolongan. Banyak orang yang harus berhari-hari menunggu bantuan dan akhirnya meninggal dalam diam dan harap.
Bab ketiga mengisahkan bahwa penderitaan tak berhenti sampai saat itu. Setelah mengarungi penderitaan agar bisa bertahan hidup dan sembuh dari luka-luka yang mereka alami. Muncul masalah baru. Penyakit akibat radiasi mewabah. Hal itu menyebabkan orang di luar Hiroshima harus berpikir ulang untuk mengunjungi tempat pengeboman. Bantuan dari luar akhirnya berkurang. Ada tiga periode penderitaan yang disebabkan penyakit ini. Periode pertama ketika korban yang meninggal mendadak tanpa luka bakar, ini dapat diketahui pada hari pengeboman terjadi. Sepekan sampai dua pekan selanjutnya animea dan demam tinggi menjadi ciri pada periode kedua. Sedangkan periode ketiga penyakit ini adalah rontoknya rambut dan kemampuan berpikir mereka menurun. Pada periode ini pula banyak yang meninggal berminggu-minggu setelah pengeboman akibat dari komplikasi penyakit yang tak bisa diatasi. Pada bab ini pulalah satu kenyataan pahit harus mereka terima, penyataan kaisar bahwa perang usai dengan hasil kekalahan di pihak Jepang. Haru mengiringi tanpa ada yang saling menyalahkan atas terjadinya peristiwa ini. Di sinilah letak kecemburuanku pada mereka yang telah sabar dan tidak ada yang bertindak gegabah ketika penderitaan mengkudeta diri mereka. Bahkan rasa nasionalisme semakin berkobar di saat genting seperti ini. Banyak yang beranggapan bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah wujud pengabidan pada negara.
Bab terakhir adalah masa-masa mengembalikan dan memulai hidup baru bagi mereka para korban. Kehidupan mereka berubah drastis. Banyak yang kehilangan, meski begitu mereka semakin kuat dan tabah. Mereka adalah pahlawan atas diri sendiri dan orang lain. Butuh berbulan-bulan untuk mengembalikan kehidupan mereka menjadi normal. Dari peristiwa ini mereka banyak mengambil pelajaran sehingga hal itulah yang membuat mereka berusaha agar bisa pulih dan memulai hidup untuk berhasil. Pada bab ini mereka mulai mengingat kembali kejadian perih itu. Bagaimana teman-teman mereka meninggal setelah menyanyikan lagu kebangsaan kimigayo.. Bagaimana perasaan para korban yang membenci orang Amerika. Bagaimana seorang wanita yang selama sembilan bulan merasa kesakitan akibat kaki kirinya yang patah lalu akhirnya pincang dan menerima kenyataan tunangannya tak menemuinya lagi. Juga tentang data para yang tak bisa diketahui akurat tidaknya. Namun diperkirakan ada sekitar 100.000 orang yang tewas dalam kejadian ini, sisanya luka parah dan luka ringan dari penduduk yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa. Buku ini ditutup dengan kisah tentang perasaan seorang anak berusia 10 tahun yang turut menyaksikan peristiwa itu lalu dengan senang hati menulis esai tentang kesedihan atas apa yang ia saksikan.
Buku ini meski tak lagi hangat tapi menurut saya akan tetap cocok untuk di baca 10 tahun akan datang dan seterusnya. Sebab bukan hanya reportase belaka yang dihadirkan melainkan pelajaran moral yang amat berharga. Inilah kelebihan jurnalisme sastrawi menurutku.

Makassar, 20 September 2008



Tidak ada komentar: