Mestinya tulisan ini kuposting
pada tanggal 21 November, tapi lantaran akses internetku yang terhambat beberapa hari belakangan, jadilah
postingan ini ter-upload baru sekarang.
Oke kita mulai membicarakan dua
orang ini. Yang pertama, namanya Syafruddin namun senang ia jika dipanggil Made,
dan lebih sangat senang jika dipanggil pergi minum ballo' hehehe. Tentu saja
Made dengan penyebutan "e” pepet bukan "e" taling, karena jika "e"
taling maka akan terdengar namanya seperti nama orang Bali. Padahal ia murni
berdarah Bugis, tepatnya Bugis Soppeng-Wajo. Konon ia lahir pada tahun 1963, ia
sendiri tak begitu yakin, hanya sebuah perkiraan dari daya ingat saudara
perempuannya. Bagaimana mungkin ia bisa mempertanyakan lebih tepatnya, jika
sejak SD ia sudah yatim piatu. Tidak akan ada yang bisa mengingat persisnya
kini, katanya. Lagipula menurutnya tahun kelahiran tidak begitu penting kecuali
untuk mengisi berbagai formulir dan data-data, selain itu ia tidak merasa tahun
kelahiran penting untuk diketahui tepatnya. Entahlah.
Sejak remaja ia sudah terbiasa
mencari uang sendiri, dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan, mulai dari membantu
pamannya berjualan, berkebun, sampai menjadi supir angkot. Pekerjaan terakhir
lah yang kemudian ia pilih untuk ia jalani mencari uang dan hingga kini masih
ia kerjakan. Bahkan, berkat pekerjaan itulah, ia bertemu perempuan yang
membuatnya jatuh cinta kemudian ia nikahi. Namanya Nurmi, dialah orang kedua
yang akan saya ceritakan.
Sebenarnya Nurmi memiliki nama
yang sangat ia sukai sejak kanak-kanak. Ia bahkan pernah nekat mengganti
namanya untuk ditulis dalam rapor sekolah mengajinya yang kemudian dalam ijazah
juga dengan nama yang sama,Widiarti. Namun, kemudian ia kembali menggunakan
nama yang diberikan oleh Bapaknya hari hingga kini, entah dengan pertimbangan
apa.
Nurmi lahir pada tahun 1971,
tentu saja usia keduanya cukup jauh berbeda.
Keduanya bertemu di Sengkang.
Saat Nurmi masuk pesantren Asadiyah tingkat Aliyah. Saat itu Made sudah
berprofesi sebagai supir angkot. Sepertinya lebih tepat jika kisah mereka
dinamakan "Cinta Bersemi Di Atas Pete-Pete" hehehe. Made dianggap
cukup berani waktu itu, sekitar tahun 1986-1987 memiliki seorang pacar tentu
tidak semudah sekarang. Tak ada telepon genggam yang bisa menghubungkan
sepasang kekasih kapan saja jika ada pula, terlebih facebook atau twitter,
jika ingin kencan tentu harus bertemu langsung. Tak ada kata janjian lewat
pesan singkat terlebih dahulu. Maka, Made seringkali harus berhadapan dengan
paman Nurmi yang terkenal galak, bahkan pernah sekali ia dipukuli oleh si Paman
karena dianggap lancang mengajak Nurmi keluar untuk sekedar jalan-jalan. Belakangan, Made disarankan untuk segera
melamar kekasihnya saja. Tentu bukan hal
yang gampang, lantaran Nurmi masih berstatus siswa Madrasah Aliyah kelas dua.
Keluarga nya menentang.
Dengan sedikit ancaman ke kakak
perempuannya, bahwa jika ia tidak menikah dengan Nurmi, ia akan pergi
meninggalkan kampung, jadilah seluruh keluarga berusaha agar lamarannya
diterima. Dan resmilah keduanya menjadi sepasang suami istri pada tanggal 21
November 1987.
Setelah menikah, Nurmi masih
melanjutkan sekolahnya,tapi tidak
berlangsung lama. Keduanya memilih merantau ke kota Ujung Pandang.
Dengan alasan bahwa menurut kepercayaan orang Bugis, karena keduanya sama-sama
anak urutan ketiga dari saudara-saudaranya, maka rejeki tak akan datang jika
mereka mencarinya di dalam kampung sendiri, mereka harus ke kampung lain.
Kota Ujung Pandang menjadi
pilihan dengan bekal kemampuan Made mengendarai mobil, ia bekerja di Perusahaan
Taspi Trading Coy alias perusahaan bis antar kota Piposs. Untuk menjadi supir
bis di sebuah perusahaan, tentu tidak
sekedar bisa mengemudi. Made harus melewati jenjang karir ala kantoran,
mulai dari jadi kernet, sopir mobil servis penumpang, lalu naik jadi sopir
bantu, kemudian bisa menjadi sopir utama. Butuh waktu yang cukup lama untuk
mencapainya.
Dua tahun setelah menikah,
barulah mereka dikaruniai anak perempuan. Saat itu Nurmi baru berusia 18 tahun.
Karena tidak bekerja, ia menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga,
sesekali menjahit dan merajut pakaian anak pertamanya. Anak perempuan itu
mereka beri nama Besse Megawati, dan dua tahun kemudian anak keduanya lahir
mereka beri nama Rahmat Zulkifli. Anak perempuannya sering sakit dan dianggap
namanya yang memberikan pengaruh besar atas kondisi tubuhnya yang lemah.
Jadilah Besse Megawati diganti menjadi Eka Wulandari.
Nah,kira-kira sampai di sini kalian
sudah tahu kan siapa yang saya bicarakan? Mari kita lanjutkan, tentu saja
dengan model bercerita, saya sudah masuk dalam kisah ini! ^^
Made dan Nurmi memiliki sebuah
rumah kayu mungil yang rangkanya dibuat di kampung, lalu dibawa ke Makassar.
Dindingnya berbahan anyaman bambu, yang kita kenal di Makassar dengan sebutan gamacca. Saya sangat suka rumah itu,
terlebih warna dindingnya, biru muda. Letak rumah kami persis di samping got
besar dalam kompleks. Kami cukup lama tinggal di kompleks Piposs, jalan
Dahlia,kecamatan Mariso. Hingga tahun 1998-1999, perusahaan menjual kompleks
perumahannya untuk diubah menjadi perumahan yang cukup elit, Pesona Taman
Dahlia.
Akhirnya kami pindah ke jalan
Deppasawi, di samping kampus Atma Jaya. Saya juga sangat menyukai posisi rumah
kami di sana, ada sawah luas di depannya, lalu ada empang, dan tentu saja
karena cukup dengan berjalan kaki atau naik sepeda, kita sudah bisa sampai di
pantai yang kini berbayar jika ingin dikunjungi, Akkarena. Tidak cukup lama,
sekitar lima tahun, semuanya berubah. Sawah di depan rumah kami ditimbuni dan
dibangun perumahan Tanjung Bunga. Di depan rumah kami berdiri tembok tinggi,
tak ada lagi jalan pintas menuju pantai.
Rumah kami tak pernah sepi,
selalu ada keluarga yang dan tinggal di rumah kami. Kami cukup bahagia dengan
itu semua. Saya dan Upi-adikku, senang singgah di bengkel Piposs jika pulang
sekolah untuk menunggui Made selesai memastikan mobilnya siap untuk dikendarai
lagi malam hari nantinya. Oya, dulu ketika kami berdua SD, Made sudah pada
posisi supir utama sebuah bis, ia memilih rute perjalanan malam. Jadilah kami
sering ikut keliling-keliling, mulai Palopo hingga Mamuju. Tiap pekan, ada satu
hari libur dan kami akan menghabiskannya dengan menikmati nasi goreng di Pantai
Losar atau sekedar ber-karaoke di rumah. Dan saya sangat menikmati itu semua.
Tapi tentu saja dalam setiap keluarga
ada saja suatu permasalahan yang muncul, dan kita mesti cukup kuat untuk
bertahan. Ketika saya berusia 10 tahun, Made memilih untuk menikah lagi. Tentu
saja ini cukup mengejutkan dan membuat suasana keluarga kami tegang. Yang
mengagumkan adalah Nurmi tetap bertahan dengan bersedia dipoligami. Sangat
sabar menurutku. Nurmi pernah bilang, bagaimanapun Made punya hak untuk memilih
jalan yang ia mau. Nurmi sangat yakin Made adalah orang yang bertanggung jawab.
Dan terbukti, meski kami pernah berada di masa yang cukup menyedihkan, namun
kini kami masih bertahan dan menikmatinya, tentu saja kami bisa melewatinya. Made
dan Nurmi mengajarkan saya bahwa jika adalah sebuah kesalahan yang pernah
mereka lakukan, menghindar bukan cara yang baik. Menghadapi dan tentu saja
belajar dari kesalahan itu.
Sejak SMA saya tak lagi tinggal
bersama mereka. Dan yang membuat saya hingga saat ini mengagumi keduanya,
karena rasa percaya mereka berikan pada saya untuk memilih dan menjalani segala
keputusanku sendiri. Apapun itu, meski tentu saja mereka punya beberapa harapan
ini itu, tapi tetap saja keputusan pada saya sendiri. Saya bebas ke mana saja,
tentu saja dengan tanggung jawab pada resiko yang siap kuhadapi sendiri,
keduanya selalu mendukung. Saat SMA saya memilih jurusan Bahasa, lalu saat
kuliah saya memilih pindah jurusan, atau adikku yang memilih berhenti sekolah
sebelum tamat SMP, keduanya hanya selalu bilang: kau yang jalani, kami hanya
bisa mendukung.
Jika hari ini saya begitu
menikmati duniaku sendiri, itu berkat
keduanya yang tidak pernah mengekangku. Made juga selalu membiasakan kami,
anak-anaknya untuk tidak begitu serius dan santi menikmati hidup. Suatu waktu,
ketika saya bilang sedang sangat sibuk pada suatu pekerjaan, Made mengirimiki
pesan singkat "Jangan mau diatur sama pekerjaan, mestinya kau yang atur
pekerjaan, jangan kayak saya sekarang" Hehehe...
Saat ini Made dan Nurmi memilih
menetap di sebuah rumah kos di Toraja, keduanya masih percaya tentang ramalan
orang Bugis dulu mengenai rejeki mereka. Made masih berprofesi sebagai sopir
tujuan Makassar-Toraja di sebuah perusahaan bis baru, Metro Permai. Nurmi
berjualan aksesoris di Pasar Makale. Rumah kos yang sangat kecil itu juga tak
pernah sepi. Banyak teman saya dan Upi pernah datang ke sana, semacam menjadi tempat singgah buat backpacker hehehe. Nurmi pernah bilang,
yaaa meski kita bukan orang kaya, tapi setidaknya dengan cara itulah Tuhan
memberikan kita kesempatan untuk berbagi. Ya, setidaknya kalau tak sempat keluar negeri, paling tidak sudah
ada yang mengingat kita di luar negeri. Hehehe...
Oya, dari pernikahan Made yang
kedua, juga dikaruniai dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Namanya Tri dan
Aldi. Kami sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan, atau berkumpul di
Toraja jika libur panjang tiba.
Bukankah kedua orang ini cukup
keren? ;)
Tanggal 21 kemarin, usia
pernikahan mereka mencapai 25 tahun, empat hari sebelumnya usiaku mencapai 23
tahun. Cukup untuk kami semua belajar memaknai kehidupan ini. Tak ada harapan
pasti, hanya ingin tetap menikmati hidup sampai kapanpun kita bisa bertahan.
Selamat hari ulang tahun
pernikahan Made dan Nurmi ^^